AJI Surabaya Keluarkan Pernyataan Sikap, Berikut Pasal-Pasal Yang Diajukan

9 Oktober 2020, 15:07 WIB
Ilustrasi jurnalis /pixabay/AndyLeungHK

MEDIA BLITAR - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya melalui surat peryataan sikap, Jumat 9 Oktober 2020, menilai aparat keamanan melakukan intimidasi, serangan dan upaya penyensoran yang dilakukan aparat keamanan saat berlangsung aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya pada 8 Oktober 2020.

Dari laporan yang diterima, setidaknya ada lima kejadian intimidasi dan upaya penyensoran terhadap jurnalis yang bertugas. Selain dilakukan aparat keamanan, intimidasi dan penyerangan juga dilakukan demonstran.

Baca Juga: Media Asing Turut Soroti Kericuhan Akibat RUU Cipta Kerja

“Kami menilai aneh aparat keamanan yang paham hukum masih menggunakan cara-cara intimidatif dan penyensoran untuk mengontrol kerja-kerja jurnalis. Tentu kami paham tensi situasi di lapangan saat itu. Tugas jurnalis merekam apa yang terjadi secara jujur dan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. Tensi panas yang dihadapi, baik aparat keamanan dan demonstran, tidak bisa menjadi pembenar aksi penyerangan, intimidasi dan sensor,” tulis Miftah Faridl sebagai perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya.

Menurut AJI, berikut adalah pasal-pasal dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menjadi dasar keberatan atas tindakan aparat keamanan dan demontran saat demonstrasi.

1.Pasal 8

Dalam Melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

2. Pasal 4 ayat 2

Terhadap pers nasional, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

3.Pasal 4 ayat 3

Untuk menjamin kemerdekaan pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

4.Pasal 18 ayat 1

Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).

Baca Juga: Janji Anies Baswedan Kumpulkan Gubernur Seluruh Indonesia saat Menemui Demonstran

Menurut AJI, aparat keamanan bisa jadi menjadi salah satu pelaku. Intimidasi dan upaya penyensoran, seringkali terjadi dan tidak satu pun kasus tersebut yang diselesaikan sesuai undang-undang. Impunitas dilestarikan sehingga kasus penyerangan, intimidasi dan penyensoran terus berulang.

AJI menambahkan jika perlakuan aparat keamanan ini melanggar Pasal 18 ayat 1 di mana, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).

Baca Juga: Jurnalis Alami Intimidasi Hingga Penyensoran Oleh Aparat Keamanan di Surabaya, Berikut Kronologinya

Penyensoran ini berkaitan dengan penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan. Sensor dalam bentuk lain adalah teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor atau harus mendapatkan izin dari pihak berwajib. Artinya, para jurnalis tidak perlu mendapatkan izin dan aparat keamanan tidak dapat melarang liputan aksi kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun demonstran.

Dewan Pers merumuskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap jurnalis bisa fisik, non-fisik perusakan alat liputan, upaya menghalangi kerja jurnalis mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi atau tindakan lain seperti merampas alat kerja sehingga jurnalis tidak bisa memproses pekerjannya. Bisa juga kekerasan dalam bentuk lain yang merujuk pada KUHP dan UU HAM.

“Jika aparat keamanan atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dengan pemberitaan dan aktivitas kejurnalistikan, undang-undang sudah mengaturnya dalam bentuk, hak jawab dan koreksi. Upaya lain seperti intimidasi, serangan fisik, verbal dan upaya sensor, masuk kategori tindak pidana. Kerja-kerja jurnalis dilakukan untuk menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi yang sesuai fakta dan utuh. Karena itu, segala bentuk serangan, intimidasi dan upaya sensor, sama artinya melanggar UUD 1945 pasal 28 F yang berkaitan dengan hak setiap orang berkomunikasi dan mendapatkan informasi,” tulis Miftah.

Baca Juga: Kuota Internet Gratis Kemendikbud Turun Bulan Ini, Simak Cara Mencairkannya

“Mengecam? Tentu kami mengecam prilaku buruk yang menabrak aturan. Tapi kecaman ini sudah berulang kali teriring senyampang dengan aksi intimidasi, serangan dan sensor yang terus berulang. Pada akhirnya kami simpulkan, aparat keamanan belum terliterasi terkait aturan yang ada. Untuk itu, Kami meminta aparat keamanan mau kembali membuka dan belajar tentang UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menerbitkan surat Telegram Rahasia (TR) soal antisipasi adanya demonstrasi dan mogok kerja soal penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja yang digelar buruh pada 6-8 Oktober 2020. Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 yang ditandatangani oleh Asops Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis.

Sebagaimana termaktub dalam surat itu, unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral dan hukum di tatanan masyarakat. Ditengah situasi pandemi virus corona seperti ini, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadinya penyebaran virus Covid-19 lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan.***

Editor: Ninditoo

Tags

Terkini

Terpopuler