Berikut Poin Penting Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam UU Cipta Kerja

- 7 Oktober 2020, 17:08 WIB
Ilustrasi kebakaran hutan.
Ilustrasi kebakaran hutan. /PIXABAY/Ylvers/

MEDIA BLITAR – Undang-undang (UU) Cipta Kerja telah disahkan, Senin 5 Oktober 2020, di Senayan, Jakarta. Setelah berlakunya UU Cipta Kerja, sejumlah penolakan dari masyarakat terutama disuarakan oleh kaum buruh terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Sebelumnya, aturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Baca Juga: ShopeePay Perluas Jangkauan ke Lebih dari 500 Outlet Planet Ban

Berikut adalah beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam UU Cipta Kerja dalam bidang lingkungan.

1. Kewajiban Kepemilikan Amdal

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. UU Cipta Kerja merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam UU 32 Tahun 2009.

Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, berbunyi:
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.

Selanjutnya, dalam UU Cipta kerja, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.
14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37

Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Baca Juga: Ahmad Syaikhu Minta Presiden Jokowi Terbitkan Perpu

2. Tim Uji Kelayakan Lingkungan

Pasal 24 UU PPLH, dokumen Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Dalam UU Cipta Kerja, Amdal tetap menjadi dasar uji kelayakan lingkungan.

Sejumlah ketentuan baru ditambahkan. Uji kelayakan dilakukan tim bentukan Lembaga Uji Kelayanan Pemerintah Pusat.

Tim ini terdiri dari pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat. Pusat dan daerah kemudian menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasi pengujian. Keputusan bersama ini yang jadi syarat suatu bisnis dapat izin.

Pasal 24 UU PPLH:
Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 24 UU Cipta Kerja:
(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Uji Kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.
(3) Tim Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerinta Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan
hidup berdasarkan hasil kelayakan lingkungan hidup.
(5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagai
persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan pemerintah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Baca Juga: Bosan Jadi Warga Negara Indonesia? Yuk, Ketahui Tata Cara Pindah Kewarganegaraan Berikut Ini

3. Masyarakat Terdampak

Dalam Pasal 25 huruf c UU PPLH dokumen AMDAL salah satunya berisi saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam UU PPLH, ada tiga kriteria masyarakat. Dua di antaranya yaitu yang terkena dampak dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Namun dalam UU Cipta Kerja, kriterianya
semakin diperjelas menjadi ‘masyarakat yang terkena dampak langsung yang relevan’.

Pasal 25 huruf c UU PPLH:
Saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

Pasal 25 huruf c UU Cipta Kerja:
saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

4. Peran Masyarakat dalam Penyusunan Amdal

Pasal 26 ayat 2 UU PPLH menyatakan, pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen
Amdal harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

Namun dalam UU Cipta Kerja prinsip transparan dan lengkap dihapuskan. Pasal 26 ayat 2 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 26 ayat 3 UU PPLH, pemerhati lingkungan termasuk dalam satu dari tiga kriteria masyarakat yang dilibatkan dalam penyusunan dokumen Amdal. Tetapi dalam UU Cipta Kerja, pemerhati lingkungan dalam penyusunan Amdal dihapus. Hanya saja, pemerintah menambahkan satu ayat baru dalam Pasal 26 ini. Bunyinya yaitu, ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

5. Pengajuan Keberatan Terhadap Amdal

Hak dalam mengajukan keberatan terhadap analisis mengenai dampak lingkungan diatur dalam pasal 26 ayat 4 UU PPLH. Namun dalam UU Cipta Kerja tidak memuat mengenai pengajuan keberatan tersebut. Pasal 26 UU Cipta Kerja memuat tiga ayat yang mengatur proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal.

Pasal 26 ayat 4 UU PPLH bebunyi:
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen Amdal.

6. Komisi Penilai Amdal
Pasal 29, 30, dan 31 dalam UU PPLH yang mengatur komisi penilai Amdal, namun dalam UU Cipta Kerja ketiga pasal ini dihapus. Selama ini, komisi inilah yang berisi gabungan pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Pasal 30 UU PPLH, terdapat enam unsur yang menjadi anggota komisi. Pihak pemerintah, diwakili oleh instansi lingkungan hidup dan instansi teknis terkait.

Pihak akademisi, diwakili pakar di bidang jenis usaha yang dilakukan dan pakar di bidang dampak yang ditimbulkan dari bisnis tersebut. Pihak masyarakat diwakili oleh mereka yang berpotensi terdampak, serta organisasi lingkungan hidup.

7. Pengelolaan Limbah

Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Tanggung Jawab Mutlak. Pasal 88 UU PPLH berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam draf UU Cipta Kerja, pasal tersebut diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini
memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

***

Editor: Ninditoo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah