Namun, bila dilihat dari segi kepantasan, Makyun melihat memang tidak pas. Pasalnya, Joko Tingkir adalah ulama dan kakek buyutnya ulama-ulama NU. "Rasanya kurang elok dijadikan sampiran lirik lagu yang dipakai joget," ujarnya.
Karenanya, ia menegaskan bahwa bahasanya memang tidak masalah, tetapi setting bahasa tersebut yang bermasalah.
"Jadi yang sebenarnya dinilai merendahkan itu bukan bahasanya, tapi setting bagaimana bahasa itu dipakai," jelas Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) itu.
Namun, lanjutnya, hal yang lebih menarik bukan soal lagu tersebut melecehkan atau tidak, melainkan latar di balik pilihan nama Joko Tingkir yang digunakan pada sampiran lirik itu.
"Yang lebih menarik itu sebenarnya bukan soal lagu itu pelecehan atau bukan, tapi soal bagaimana mereka bisa menjadikan Joko Tingkir sebagai sampiran lirik lagu itu," katanya.
Pasalnya, bagi Makyun, hal tersebut menjadi petunjuk bahwa Joko Tingkir tidak dikenal, apalagi sampai menyatu dalam kesadaran religius masyarakat.
"Ini kan menandakan bahwa mereka nggak kenal sosok Joko Tingkir secara dekat. Nggak menyatu dengan kesadaran religius mereka," katanya.