Teguh Surya: RUU Cipta Kerja Dipaksakan Lahir Prematur, Ini Tidak Mengatasi Masalah Utama Investasi

4 Oktober 2020, 15:05 WIB
Rapat Baleg DPR RI telah menyetujui RUU Cipta Kerja dibahas di rapat paripurna. /Antara

 

MEDIA BLITAR – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah secara resmi telah menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di tingkat I atau tingkat dalam Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Keputusan tingkat I diambil dalam rapat terakhir panitia kerja RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR pada Sabtu 3 Oktober 2020 malam.

Baca Juga: Presiden Jokowi : Pencapaian Kita Sejauh Ini Tidak Buruk

Dengan demikian, tinggal disahkan menjadi Undang-Undang (UU) di Rapat Paripurna pada Kamis, 8 Oktober mendatang lalu diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Namun tak sedikit masyarakat maupun tokoh-tokoh yang menanggapi bahwa hasil RUU ini masih belum dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi Indonesia.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan M. Teguh Surya mengatakan poin-poin yang ditetapkan dalam RUU Cipta Kerja tidak menyentuh akar masalah investasi. Ia mengatakan, dari sisi lahan, masalah utama yang dihadapi negara atas hambatan investasi adalah silang-sengkarut izin.

Baca Juga: Airlangga Hartarto Yakin, RUU Cipta Kerja Beri Pengaruh Dalam Pemulihan Ekonomi Nasional

“Memaksakan RUU Cipta Kerja berarti kita dipaksa bunuh diri massal di 2045. Karena yang dibahas enggak nyambung dengan masalah utama. Kebutuhan investasi saat ini adalah menyelesaikan sengkarut,” ujar Teguh dalam diskusi virtual, Ahad, 4 Oktober 2020.

 

Selain itu, izin lahan sawit juga bersinggungan dengan izin lainnya. Salah satunya dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam IUPHHK HA. Berdasarkan tipe usahanya, total silang sengkarut Izin sawit dengan IUPHHK HA mencapai 395.074 hektare.

Baca Juga: Dua Fraksi Tolak RUU Cipta Kerja Disahkan di Paripurna DPR

Tumpang tindih lahan sawit juga terjadi dengan areal lahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi atau IUPHHK HTI. Total tumpang-tindih izin ini mencapai 746.537 hektare.

Menurut Teguh, bila ingin mendorong masuknya modal, pemerintah harus lebih dulu membenahi persoalan tumpang tindih izin lahan. Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, poin-poin yang dibahas malah terlalu lebar dan akan berpotensi memunculkan peraturan-peraturan turunan yang bisa menimbulkan masalah tumpang-tindih izin lainnya.

Baca Juga: RUU Cipta Kerja Disahkan, Dinilai Untungkan Sektor Kehutanan

“Kebutuhan investasi saat ini menyelesaikan sengkarut izin lahan sehingga calon investor yang masuk punya kepastian usaha,” ucapnya.

Tak hanya masalah tumpang-tindih lahan, minat investor untuk menanam modal Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Dilansir dari data World Economic Forum dalam Global Competitiveness Report 2017-2018, penghambat utama investasi di Indonesia adalah korupsi.

Baca Juga: Waspada dan Bijak Dalam Mengatur Pendapatan, Untuk Menghadapi Resesi Ekonomi

Karena itu, sebagai upaya memecahkan masalah, pemerintah didesak harus mencegah dan memberantas munculnya tindakan-tindakan rasuah.

“Pemecahan yang harus dilakukan adalah pemberantasan korupsi  sehingga, investor yakin korupsi bisa dicegah dan ditangani utuh,” ucapnya.

Baca Juga: Bansos Rp500 ribu Per KK dari Kemensos Cair Bulan Ini, Cek Cara Mendapatkannnya Disini

Kemudian, hambatan lain ialah inefisiensi birokrasi dan akses pembiayaan. Selanjutnya, masalah infrastruktur yang tidak memadai, instabilitas kebijakan, instaboilitas pemerintah, tarif pajak, dan etos kerja yang buruk.

Meski demikian, berdasarkan data The Economist dalam Business Outlook Survey 2019, Indonesia berada di peringkat ketiga untuk negara tujuan investasi yang paling diminati.

Baca Juga: Cara Klaim Token Listrik Gratis PLN di Bulan Oktober 2020, Bisa Lewat Whatsapp dan www.pln.go.id

“Jadi opini bahwa kita harus mengesahkan RUU Cipta Kerja agar membuka investasi ini berdasarkan data yang ada agak kurang tepat. Ini sesat pikir,” ucap Teguh.

“Bagaimana opini terhadap Indonesia karena terkesan RUU Cipta Kerja dipaksakan lahir prematur,” katanya.

Teguh mengatakan DPR dan pemerintah masih memiliki waktu untuk memikirkan ulang pembahasan RUU Cipta Kerja sebelum disahkan pada 8 Oktober 2020. Pemerintah dan legislator, kata dia, juga harus melihat rekomendasi dari negara-negara penanam modal.

***

Editor: Annisa Aprilya Putri

Tags

Terkini

Terpopuler