Oleh sebab itu, jika ingin mengamati dengan lebih jelas, luangkan waktu untuk pergi ke area yang lapang dan gelap. Anda harus memastikan langit di sekitar Anda benar-benar gelap dan tidak ada bangunan, pohon, dan cahaya lain yang berpotensi menghalangi pandangan.
Baca Juga: Indonesia Membara, Ada Apa Dengan UU Cipta Kerja?
Misalnya di pantai, lapangan, dan lain sebagainya. Anda juga bisa gunakan teropong bintang atau teleskop.
Hujan meteor ini dihasilkan dari puing-puing komet, tepatnya 21P/Giacobini-Zinner. Komet tersebut bergerak dengan cepat sehingga menghasilkan puing berupa debu angkasa dan batuan di jalur orbitnya.
Setiap awal Oktober, Bumi selalu melewati jalur lintasan komet 21P/Giacobini-Zinner. Puing- puing yang ada di sana tertarik gravitasi dan memasuki atmosfer sebagai hujan meteor. Walaupun begitu, ada kalanya Draconid bisa menghasilkan ratusan meteor per jam.
Baca Juga: Merasa Anggota DPR, Fadli Zon Mengaku Sampai Sekarang Malah Belum Terima Naskah UU Cipta Kerja
Dilansir EarthSky, ini terjadi ketika komet 21P/Giacobini-Zinner berada di posisi perihelion (titik terdekatnya dengan Matahari). Terakhir kali fenomena ini terjadi di tahun 2018.
Setidaknya Draconid dalam skala besar baru terjadi lagi pada 2025.
Lantas, tunggu apalagi, segera pasang pengingat di handphone Anda agar tidak ketinggalan
hujan meteor ini, ya.***