Viral Congkel Mata Anak Demi Kaya, Begini Sejarah Praktek Pesugihan di Indonesia, Gak Bakal Nyangka!

- 6 September 2021, 13:00 WIB
Viral Congkel Mata Anak Demi Kaya, Begini Sejarah Praktek Pesugihan di Indonesia, Gak Bakal Nyangka!
Viral Congkel Mata Anak Demi Kaya, Begini Sejarah Praktek Pesugihan di Indonesia, Gak Bakal Nyangka! //Pixabay/

MEDIA BLITAR – Berbicara soal praktek pesugihan atau cara instan menjadi kaya raya memang masih marak di kalangan masyarakat Indonesia. Belakangan ini malah heboh soal praktek pesugihan satu keluarga di Gowa yang tega mencongkel bola mata anak kandungnya demi bergelimang harta.

Bahkan video eksekusi pencungkilan bola mata si anak berinisial, AP tersebut viral di media sosial. Di zaman modern seperti ini masih ada segelintir orang yang percaya soal praktek ilmu hitam yang satu ini.

Lalu seperti apa sejarah pesugihan dan apakah benar pesugihan tersebut benar adanya hingga masyarakat Indonesia masih percaya dengan praktek pesugihan?

Baca Juga: Menelusuri Jejak Sejarah Praktek Pesugihan di Indonesia, Mengejutkan Nggak Ada Sangkut Pautnya Soal Hal Mistis

Dilansir dari berbagai sumber oleh MEDIA BLITAR, Senin 6 Agustus 2021, konsep pesugihan itu merupakan gejala baru, konsep mengenai pesugihan muncul pada abad akhir 19 dan awal abad 20.

Pada abad 15 hingga 17 orang kaya di Nusantara ini tidak ada masalah pada awalnya. Seperti di Kudus, Pati, dan di Lasem. Karena di wilayah tersebut ada kapitalisme global.

Namun setelah kapitalis barat muncul pada abad ke 17, yakni ditandai oleh munculnya VOC semua berubah.

VOC atau kongsi dagangannya Belanda pada zaman itu menguasai di wilayah Indonesia dan kemudian menerapkan monopoli. Dampaknya kapitalisme pribumi ini tersingkirkan dan pribumi menjadi kelas buruh apalagi sejak adanya tanam paksa.

Baca Juga: 5 Fakta Seorang Ibu Kandung Tega Congkel Mata Anak untuk Tumbal Pesugihan, Demi Bergelimang Harta?

Orang Jawa yang menjadi golongan atas ini menikmati kasta bangsawan dan mendapatkan gaji oleh bangsa kolonial. Dan disinilah sebenarnya konsep gap (kelas sosial terjadi) itu.

Di Jawa sendiri adalah struktur sosial yang terdiri dari priyayi dan ‘wong cilik’ atau orang cilik. Dulunya konsep priyayi adalah golongan orang kaya dan pedagang.

Seorang yang dinilai bangsawan itu adalah orang kaya dan pedagang, tapi setelah ada monopoli (VOC), priyayi berada di kelas sendiri dan mereka menghindari ‘berdagang’.

Akibat kedatangan VOC tersebut masyarakat menganggap bahwa seorang priyayi tidak pantas untuk menjadi pedagang.

Karena tidak banyak orang yang ingin berdagang pada strata berikutnya, strata pedagang itu hilang. Lalu muncul strata wong cilik, wong cilik itu buruh.

Baca Juga: Beredar Rekaman Video Anak 6 Tahun Dicongkel Matanya oleh Ibu Kandungnya Demi Tumbal Praktek Pesugihan

Lambat laun kemudian orang Jawa alergi kaya melalui bisnis atau berdagang. Mereka menganggap bahwa berjualan itu merupakan produk yang ‘tidak terhormat’. Bagi orang Jawa pada waktu itu orang terhormat adalah menjadi seorang priyayi.

Kemudian abad ke 19 dan awal ada 20 itu sejalan perkembangan pendidikan kolonial, banyak cita-cita orang Jawa tidak ingin menjadi pengusaha tetapi menjadi seorang priyayi.

Jadi sejak kecil mereka sudah di doktrin “besok kalau besar jadi priayi”. Konsepnya, kelompok priyayi ini mendapatkan gaji besar, mendapatkan fasilitas kaya raya. Dan wong cilik tidak boleh kaya.

Sejalan dengan waktu, kemudian di Jawa terbagi menjadi dua bagian secara ekonomi. Pertama ekonomi barat dan kedua ekonomi tradisional. Ekonomi barat ini berorientasi pada pasar. Sedangkan ekonomi tradisional ini untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Baca Juga: Tega Orang Tua di Gowa Congkel Mata Anaknya Berusia 6 Tahun untuk Tumbal Pesugihan, Eksekusi Pakai Tangan

Orang jawa cukup menanam padi untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan orang besar (VOC) menjalankan industri gula, tebu, kopi dan punya jaringan internasional.

Karena orang Jawa tak mau berdagang dan berorientasi pada priyayi, maka semua industri dikuasai oleh penjajahan.

Sejak abad 17-18 setelah berakhir tanam paksa itu oleh VOC, perkebunan tidak dikuasai oleh pemerintah tapi kuasa barat dan sebagian ada orang China.

Dampak dari hal tersebut, terjadi monetisasi uang menyebar luas di pedesaan. Seperti di Kudus, Pati, Solo itu uang mulai menyebar di desa-desa. Dari hal tersebut kemudian muncul variasi pekerjaan di desa. Salah satu pekerjaan itu adalah menjadi pedagang.

Nah karena semua priyayi tak mau jadi pedagang, maka yang menjadi pedang ya ‘wong cilik’, malahan secara gender para pedagang tersebut kebanyakan adalah wanita.

Baca Juga: Punya Rumah Bak Sultan, Tak Disangka Crazy Rich Pondok Indah Dulu Tukang Bumbu Dapur, Fitno Fabolus Pesugihan?

Tak disangka karena penyebaran uang ke desa ini secara tiba-tiba bisnis dalam urban ini menjadi orang kaya. Seperti pemilik andong, penjual makanan, hingga penjual kain. Mereka ini kemudian menjadi orang kaya.

Fenomena inilah yang kemudian mengagetkan priyayi di pedesaan. Mereka bertanya mengapa orang biasa atau wong cilik bisa menjadi kaya. Nah disitulah muncul gagasan iden soal pesugihan.

“Apa benar kemudian mereka kaya karena gundul, tuyul. Sebenarnya tidak. Nah, tapi dikembangkan kalau dia (orang kecil) kaya dia memelihara pesugihan seperti buto ijo. Sampai sekarang seperti itu terus. Waktu itu orang kaya diuntungkan dengan sistem kapitalisme yang berkembang,” kata Prof. Dr. Wasino, M.Hum dalam webinar Hasrat Sugih dengan Pesugihan di Era Milenial.

Secara sosial fenomena ini menimbulkan kerusuhan kalau jadi kaya dicurigai memelihara pesugihan. Ada uang di masyarakat hilang dituduh karena pesugihan.***

Editor: Rezky Putri Harisanti


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah